
"Manakah yang benar tatkala duduk
tasyahhud terakhir sholat subuh, apakah dengan duduk tawarruk (yaitu
duduk dengan mengedepankan kaki kirinya dan menegakkan kaki kanan, dan
tidak menduduki kaki kirinya) ataukah dengan duduk iftirosy(duduk dengan
menghamparkan kaki kirinya dan duduk diatasnya serta menegakkan kaki
kanan)?. Mohon penjelasannya ustadz.
Jawab :
Permasalahan ini adalah permasalahan khilaf (perbedaan pendapat) klasik. Namun pada kesempatan kali ini penulis mencoba untuk menjelaskan khilaf yang
kuat antara madzhab Imam Ahmad dan madzhab Syafi'i. Tentunya
masing-masing madzhab sama-sama memiliki dalil yang kuat. Oleh karenanya
tulisan ini hanya usaha kecil dari penulis untuk memandang yang terkuat
dari dua pendapat tersebut -tentunya menurut hemat penulis yang lemah
ini-. Dan tulisan berikut ini tidak pantas dikatakan sebagai bantahan
terhadap tulisan-tulisan yang bagus yang telah ada tentang permasalahan
ini, akan tetapi hanya sebagai tambahan wacana bagi para pembaca yang
budiman. Oleh karenanya tidak pantas jika kita menuduh bahwa orang yang
berselisih dengan kita dalam permasalahan ini bahwa ia "pada hakekatnya tidak memberikan hak yang semestinya terhadap pembahasan ini",
karena masing-masing telah berusaha berdalil dan berijtihad dalam
memahami dalil, dan toh permasalahan ini adalah permasalahan khilaf
klasik yang sejak dulu telah ada. Semoga Allah senantiasa merahmati para
ulama yang berusaha memudahkan pemahaman agama kepada masyarakat.
Catatan : Madzhab As-Syafi'i dan madzhab Hanbali bersepakat bahwa untuk sholat yang memiliki dua tasyahhud maka tasyahhud awal dengan duduk iftirosy dan tasyahhud kedua dengan duduk tawarruk. Khilaf yang terjadi diantara kedua madzhab ini adalah pada sholat-sholat yang hanya memiliki satu tasyahhud seperti sholat subuh dan sholat jum'at, apakah dengan duduk iftirosy ataukah dengan duduk tawarruk.
Catatan : Madzhab As-Syafi'i dan madzhab Hanbali bersepakat bahwa untuk sholat yang memiliki dua tasyahhud maka tasyahhud awal dengan duduk iftirosy dan tasyahhud kedua dengan duduk tawarruk. Khilaf yang terjadi diantara kedua madzhab ini adalah pada sholat-sholat yang hanya memiliki satu tasyahhud seperti sholat subuh dan sholat jum'at, apakah dengan duduk iftirosy ataukah dengan duduk tawarruk.
Pendapat Madzhab As-Syafi'i
Madzhab Syafi'i berpendapat bahwa duduk pada setiap rakaat yang terakhir baik sholat yang memiliki dua tasyahhud (seperti sholat dhuhur, ashar, magrib, dan isyaa') maupun sholat yang hanya memiliki satu tasyahhud (seperti sholat subuh, sholat jum'at, sholat witir satu rakaat, atau sholat-sholat sunnah 2 rakaat) maka semuanya dilakukan dengan duduk tawarruk.
Dalil yang dikemukakan oleh madzhab As-Syafi'i adalah hadits Abu Humaid As-Sa'idi
ุฃูููุง ููููุชู ุฃูุญูููุธูููู ู ููุตููุงูุฉู ุฑูุณูููู ุงูููููู ุตููููู ุงูููููู ุนููููููู ููุณููููู ู ุฑูุฃูููุชููู ุฅูุฐูุง ููุจููุฑู ุฌูุนููู ููุฏููููู ุญูุฐูุงุกู ู ูููููุจููููู ููุฅูุฐูุง ุฑูููุนู ุฃูู ููููู ููุฏููููู ู ููู ุฑูููุจูุชููููู ุซูู ูู ููุตูุฑู ุธูููุฑููู ููุฅูุฐูุง ุฑูููุนู ุฑูุฃูุณููู ุงุณูุชูููู ุญูุชููู ููุนููุฏู ููููู ููููุงุฑู ู ูููุงูููู ููุฅูุฐูุง ุณูุฌูุฏู ููุถูุนู ููุฏููููู ุบูููุฑู ู ูููุชูุฑูุดู ูููุงู ููุงุจูุถูููู ูุง ููุงุณูุชูููุจููู ุจูุฃูุทูุฑูุงูู ุฃูุตูุงุจูุนู ุฑูุฌููููููู ุงููููุจูููุฉู ููุฅูุฐูุง ุฌูููุณู ููู ุงูุฑููููุนูุชููููู ุฌูููุณู ุนูููู ุฑูุฌููููู ุงููููุณูุฑูู ููููุตูุจู ุงููููู ูููู ููุฅูุฐูุง ุฌูููุณู ููู ุงูุฑููููุนูุฉู ุงููุขุฎูุฑูุฉู ููุฏููู ู ุฑูุฌููููู ุงููููุณูุฑูู ููููุตูุจู ุงููุฃูุฎูุฑูู ููููุนูุฏู ุนูููู ู ูููุนูุฏูุชููู.
โAku adalah orang yang paling menghafal diantara kalian tentang shalatnya Rasulullah โ shallallahu โalaihi wa sallam -. Aku melihatnya tatkala bertakbir , menjadikan kedua tangannya sejajar dengan kedua pundaknya, dan jika rukuโ, beliau menetapkan kedua tangannya pada kedua lututnya, lalu meluruskan punggungnya. Dan jika beliau mengangkat kepalanya , maka ia berdiri tegak hingga kembali setiap dari tulang belakangnya ke tempatnya. Dan jika beliau sujud, maka beliau meletakkan kedua tangannya tanpa menidurkan kedua lengannya dan tidak pula melekatkannya (pada lambungnya), dan menghadapkan jari-jari kakinya kearah kiblat. Dan jika beliau duduk pada rakaโat kedua, maka beliau duduk diatas kaki kirinya dan menegakkan kaki kanan (duduk iftirasy), dan jika beliau duduk pada rakaโat terakhir, maka beliau mengedepankan kaki kirinya dan menegakkan kaki yang lain, dan duduk diatas tempat duduknya โ bukan di atas kaki kiri- (duduk tawarruk). (HR Al-Bukhari no 828).
Al-Imam An-Nawawi berkata, "Imam As-Syafi'i dan para sahabat kami (dari madzhab As-Syafi'i) berkata:
ููุงูู ุงูุดููุงููุนูููู ููุงูุฃูุตูุญูุงุจู : ููุญูุฏูููุซู ุฃูุจูู ุญูู ูููุฏู ููุฃูุตูุญูุงุจููู ุตูุฑูููุญู ููู ุงููููุฑููู ุจููููู ุงูุชููุดููููุฏููููู. ููุจูุงูููู ุงููุฃูุญูุงุฏูููุซู ู ูุทูููููุฉู ููููุฌูุจู ุญูู ูููููุง ุนูููู ู ูููุงููููุชููู, ููู ููู ุฑูููู ุงูุชููููุฑูููู ุฃูุฑูุงุฏู ุงููุฌูููููุณู ููู ุงูุชููุดููููุฏู ุงููุฃูุฎูููุฑู, ููู ููู ุฑูููู ุงููุงูููุชูุฑูุงุดู ุฃูุฑูุงุฏู ุงููุฃูููููู. ูููุฐูุง ู ูุชูุนูููููู ููููุฌูู ูุนู ุจููููู ุงููุฃูุญูุงุฏูููุซู ุงูุตููุญูููุญูุฉู ูุงู ุณูููู ูุง ููุญูุฏูููุซู ุฃูุจูู ุญูู ูููุฏู ููุงูููููู ุนููููููู ุนูุดูุฑูุฉู ู ููู ููุจูุงุฑู ุงูุตููุญูุงุจูุฉู ุฑูุถููู ุงูููู ุนูููููู ู. ููุงูููู ุฃูุนูููู ู.
โHadits Abu Humaid dan para shahabatnya jelas membedakan antara dua duduk tasyahhud, sedangkan hadits-hadits yang lainnya adalah hadits yang mutlak, sehingga wajib untuk dibawakan sesuai dengan hadits ini (hadits Abu Humaid-pen). Barang siapa yang meriwayatkan hadits duduk tawarruk, maka yang dimaksud adalah duduk pada tasyahhud akhir, dan yang meriwayatkan duduk iftirasy , yang dimaksud adalah tasyahhud awal. dan harus dilakukan untuk menggabungkan antara hadits-hadits yang shahih, terlebih lagi hadits Abu Humaid As-Saโidi telah disetujui oleh sepuluh orang dari para pembesar shahabat radhiallahu anhum. Wallahu aโlamโ. (Al-Majmuโ Syarhul Muhadzdzab, 3/413)
Hadits Abu Humaid ini juga datang dalam lafal-lafal yang lain yang semakin memperkuat madzhab As-Syafi'i. Diantara lafal-lafal tersebut adalah:
ุญุชู ุฅุฐุง ูุงูุช ุงูุณููุฌูุฏูุฉู ุงูุชู ูููุง ุงูุชููุณููููู ู ุฃูุฎููุฑู ุฑูุฌููููู ุงููููุณูุฑูู ููููุนูุฏู ู ูุชูููุฑููููุง ุนูู ุดูููููู ุงููุฃูููุณูุฑู
"Hingga tatkala sampai sujud yang terakhir yang ada salamnya maka Nabi mengeluarkan kaki kirinya dan beliau duduk dengan tawaruuk di atas sisi kiri beliau" (HR Abu Dawud no 963 dan Ibnu Maajah no 1061)
Diantaranya juga
ุญูุชููู ุฅูุฐูุง ููุงููุชู ุงูุณููุฌูุฏูุฉู ุงูููุชูู
ุชููููููู ุฎูุงุชูู
ูุฉู ุงูุตูููุงูุฉู ุฑูููุนู ุฑูุฃูุณููู ู
ูููููู
ูุง ููุฃูุฎููุฑู
ุฑูุฌููููู ููููุนูุฏู ู
ูุชูููุฑููููุง ุนูููู ุฑูุฌููููู
"Hingga tatkala sampai pada sujud yang merupakan penutup sholat, maka beliau mengangkat kepala beliau dari dua sujud tersebut dan mengeluarkan kaki beliau dan duduk tawarruk di atas kakinya" (HR Ibnu Hibbaan no 1870)
Diantaranya juga
ุฅุฐุง ูุงู ูู ุงูุฑููููุนูุชููููู ุงููููุชููููู ุชูููููุถูู ูููููู ูุง ุงูุตููููุงุฉู ุฃูุฎููุฑู ุฑูุฌููููู ุงููููุณูุฑูู ููููุนูุฏู ุนูู ุดูููููู ู ูุชูููุฑููููุง ุซูู ูู ุณููููู ู
"Jika Nabi berada pada dua rakaat yang pada keduanya berakhir sholat maka Nabi mengakhirkan kaki kirinya dan duduk tawaruuk di atas sisi beliau kemudian beliau salam" (HR An-Nasaai no 1262)
Sisi pendalilan madzhab As-Syafi'i:
Sisi pendalilan mereka adalah keumumann dari lafal-lafal yang datang dalam hadits Abu Humaid As-Sa'idi diatas seperti " dan jika beliau duduk pada rakaโat terakhir", "sujud yang terakhir yang ada salamnya", "sujud yang merupakan penutup sholat" dan "pada dua rakaat yang pada keduanya berakhir sholat". Lafal-lafal ini umum mencakup seluruh tasyahhud di rakaat yang terakhir yang merupakan penutup sholat, apakah pada sholat yang memiliki dua tasyahhud ataukah sholat yang hanya memiliki satu tasyahhud seperti sholat subuh dan sholat jum'at.
Pendapat Madzhab Hanbali
Untuk sholat yang hanya ada satu tasyahhud (seperti sholat subuh dan sholat jum'at) maka duduknya adalah duduk iftirosy.
Ibnu Qudaamah berkata, "Dan tidaklah dilakukan duduk tawarruk kecuali pada sholat yang memiliki dua tasyahhud yaitu pada tasyahhud yang dedua" (al-Mughni 2/227)
Dalil Madzhab Hanbali adalah
Hadits Aisyah โradhiyallahu 'anhaa-, beliau berkata
ููููุงูู ููููููู ููู ููููู ุฑูููุนูุชููููู ุงูุชููุญููููุฉู ููููุงูู ููููุฑูุดู ุฑูุฌููููู ุงููููุณูุฑูู ููููููุตูุจู ุฑูุฌููููู ุงููููู ูููู
.
โAdalah beliau (Rasulullah โ shallallahu โalaihi wa sallam โ ) mengucapkan tahiyyat pada setiap dua rakaโat, dan beliau menghamparkan kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya (duduk iftirasy, pent).โ
(HR. Muslim no 498).
โAdalah beliau (Rasulullah โ shallallahu โalaihi wa sallam โ ) mengucapkan tahiyyat pada setiap dua rakaโat, dan beliau menghamparkan kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya (duduk iftirasy, pent).โ
(HR. Muslim no 498).
Hadits Abdullah bin Az-Zubair
ูุงููู ุฑูุณููููู ุงูููู ุตููููู ุงูููู ุนููููููู ููุณููููู ู ุฅูุฐูุง ุฌูููุณู ูููู ุงูุฑููููุนูุชููููู ุงููุชูุฑูุดู ุงููููุณูุฑููุ ููููุตูุจู ุงููููู ูููู
โAdalah Rasulullah โ shallallahu โalaihi wa sallam โ jika duduk pada dua rakaโat, beliau menghamparkan yang kiri, dan menegakkan yang kanan (duduk iftirasy, pent).โ (HR. Ibnu Hibban no 1943).
Hadits Wail bin Hujr โ radhiyallahu โanhu โ bahwa beliau berkata:
ุฑูุฃูููุชู ุฑูุณููููู ุงูููู ุตููููู ุงูููู ุนููููููู ููุณููููู ู ุญููููู ุฌูููุณู ูููู ุงูุตูููุงูุฉู ุงููุชูุฑูุดู ุฑูุฌููููู ุงููููุณูุฑูู ููููุตูุจู ุฑูุฌููููู ุงููููู ูููู
โAku melihat Rasulullah โ shallallahu โalaihi wa sallam โ ketika duduk dalam shalat, beliau menghamparkan kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya (duduk iftirasy, pent).โ (HR. Ibnu Khuzaimah no 691)
Dalam lafal yang lain
ููููู ููุง ุฌูููุณู ููุนูููู ูููุชููุดููููุฏู ุงููุชูุฑูุดู ุฑูุฌููููู ุงููููุณูุฑูู ููููุถูุนู ููุฏููู ุงููููุณูุฑูู ููุนูููู ุนูููู ููุฎูุฐููู ุงููููุณูุฑูู ููููุตูุจู ุฑูุฌููููู ุงููููู ูููู
โMaka tatkala beliau duduk untuk tasyahhud, beliau menghamparkan kaki kirinya dan meletakkan tangan kirinya di atas pahanya , dan menegakkan kaki kanannya (duduk iftirasy, pent).โ (HR. Tirmidzi no 292).
Dalam lafal yang lain :
ูุฅุฐุง ุฌูููุณู ุงููุชูุฑูุดู
Dan jika Nabi duduk (dalam sholat-pent) beliau beriftirosy (HR At-Thobrooni dalam Al-Mu'jam Al-Kabiir 22/33 no 78)
Sisi pendalilan madzhab Hanbali
Sisi pendalilan mereka adalah keumuman lafal-lafal hadits ini, dan semua lafal-lafal di atas termasuk lafal-lafal umum, seperti, "Ketika duduk", "Jika duduk", "Tatkala beliau duduk"
Catatan
Pertama : Apakah hadits yang dijadikan dalil oleh madzhab Asy-Syafi'i โyaitu hadits Abu Hamid As-Sa'idi- memberi faedah keumuman?
Jika merenungkan dan mengamati hadits ini, ternyata hadits ini adalah sebuah kisah yang disampaikan oleh Abu Humadi As-Sa'idi tentang jenis sholat tertentu, yaitu sholat yang memiliki dua tasyahhud. Hal ini Nampak sangat jelas jika kita kembali melihat lafal-lafal hadits ini. Oleh karenanya lafal-lafal yang datang yang seakan-akan memberi faedah keumuman pada hakekatnya adalah penjelas tentang sholat yang memiliki dua tasyahhud tersebut, dan tidak mencakup seluruh sholat.
Sebagai pendekatan logika:
Misalnya penulis berkata kepada para pembaca sekalian tentang sholatnya Syaikh Abdul Muhsin Al-'Abbad, lantas penulis berkata; "Aku adalah orang yang paling tahu tentang cara sholatnya Syaikh Abdul Muhsin, tatkala beliau duduk di rakaat kedua maka beliau duduk iftirosy. Dan tatkala beliau duduk di rakaat yang terakhir yaitu rakaat penutup sholat, yang ada salamnya maka beliau duduk tawarruk".
Coba para pembaca yang budiman renungkan, apakah perkataan penulis "Pada rakaat terakhir" dipahami bahwasanya maksud penulis untuk seluruh sholat secara umum, baik sholat subuh dan sholat jum'at?, ataukah dipahami dari perkataan penulis "Pada rakaat yang terakhir" maksudnya adalah rakaat yang keempat yang berkaitan dengan sholat Syaikh Abdul Muhsin yang sedang penulis ceritakan?
Tentunya yang dipahami adalah yang kedua. Dan tidaklah penulis mengatakan "Pada rakaat yang terakhir yang merupakan penutup sholat yang ada salamnya" kecuali untuk membedakan antara tasyahhud awal dan tasyahhud akhir yang merupakan penutup sholat.
Maka demikian pula perihalnya hadits Abu Humaid As-Saa'idi.
Kedua : Dalil yang digunakan oleh madhab Hanbali keumumannya lebih kuat. Adapun hadits Aisyah keumumannya dari sisi ููู ููููู ุฑูููุนูุชููููู "Pada setiap dua rakaat". Disini ada lafal "ููููู", dan ini merupakan lafal yang kuat dalam menunjukan keumuman .
Demikian juga hadits Abdullah bin Zubair semakna dengan hadits Aisyah, hanya saja kemumumannya diambil dari lafal ุฅูุฐูุง "Jika" yaitu dalam lafal ุฅูุฐูุง ุฌูููุณู ูููู ุงูุฑููููุนูุชููููู ุงููุชูุฑูุดู "Nabi jika duduk di dua rakaat maka beliau duduk iftirosy". Hal ini menunjukan bahwa beliau duduk dengan iftirosy di setiap dua rakaat -secara umum baik pada sholat dua rakaat yang hanya memiliki satu tasyahhud atau pada sholat 3 atau 4 rakaat yang memiliki dua tasyahhud-.
Peringatan 1:
Sisi pendalilan yang digunakan oleh madzhab Hanabilah dari hadits Aisyah ini bukan dengan mafhuum al-'adad (mafhuum bilangan) sebagaimana persangkaan sebagian orang.
(lihat : http://jalansunnah.wordpress.com/2009/12/07/cara-duduk-tasyahhud-akhir-dalam-setiap-sholat/ dan http://www.rumaysho.com/hukum-islam/shalat/3191-cara-duduk-tasyahud-iftirosy-atau-tawarruk.html)
Oleh karenanya madzhab Hanbali yang berdalil dengan hadits ini sama sekali tidak pernah menyebutkan tentang mafhuumul 'adad, karena memang mafhuumul 'adad lemah menurut para ulama ahli ushul.
Maksud dari mafhuum al-'adad:
Mafhuum al-'adad adalah salah satu jenis dari jenis-jenis mafhuum al-mukhoolafah (yaitu kebalikan dari suatu manthuuq/teks kalimat). Sebagai ceontoh misalnya hadits Nabi :"Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan baginya maka Allah akan pahamkan agama baginya". Ini adalah manthuuq hadits, adapun mafhuum al-mukhoolafah dari hadits ini (yaitu makna kebalikannya) adalah ; Barang siapa yang tidak Allah kehendaki kebaikan baginya maka Allah tidak akan memahamkan agama baginya.
Contoh lain sabda Nabi :"Jika air telah mencapai dua kullah maka tidak akan ternajisi". Mafhuum al-mukhoolafahnya adalah : Jika air kurang dari dua kullah maka ternajisi"
Adapun mafhhum al-'adad yang merupakan salah satu bentuk mafhuum al-mukhoolafah definisinya adalah :ุชุนููู ุงูุญูู ุจุนุฏุฏ ู ุฎุตูุต Pengkaitan suatu hukum dengan bilangan tertentu (Ma'aalim ushuul al-fiqh hal 461)
Maka jika Aisyah berkata : โAdalah Rasulullah โ shallallahu โalaihi wa sallam โ jika duduk pada dua rakaโat, beliau menghamparkan yang kiri, dan menegakkan yang kanan (duduk iftirasy, pent).โ
Maka mafhuumul 'adad dari hadits ini yaitu : "Jika Rasulullah tidak duduk pada dua rakaat maka beliau tidak duduk iftirosy". Karena mafhuumul 'adad merupakan salah satu bentuk mafhuum al-mukhoolafah. Dan tidak ada seorangpun yang berdalil dengan hadits Aisyah ini โsepanjang penelitian penulis yang terbatas ini- dengan mafhuumul 'adad.
Peringatan 2:
Sebagian orang mengkhususkan keumuman hadits Aisyah diatas dengan hadits Rifa'ah yaitu sabda Nabi โ shallallahu โalaihi wa sallam
ููุฅูุฐูุง ุฌูููุณูุชู ููู ููุณูุทู ุงูุตูููุงูุฉู ููุงุทูู ูุฆูููู ููุงููุชูุฑูุดู ููุฎูุฐููู ุงููููุณูุฑูู ุซูู ูู ุชูุดููููุฏู
โMaka jika engkau duduk di
pertengahan shalat, maka lakukanlah thumaโninah, dan hamparkan paha
kirimu โ agar engkau duduk diatasnya โ (duduk iftirasy), lalu lakukanlah
tasyahhudโ
(HR. Abu Dawud dari Rifaโah bin Rafiโ, dan Al-Albani berkata: sanadnya hasan. Lihat kitab: Aslu Shifatis Shalaah, Al-Albani: 3/831-832).
(HR. Abu Dawud dari Rifaโah bin Rafiโ, dan Al-Albani berkata: sanadnya hasan. Lihat kitab: Aslu Shifatis Shalaah, Al-Albani: 3/831-832).
Pengkhususan ini kuranglah tepat, karena tiga hal :
- Kedua hadits ini adalah dua hadits yang berbeda
- Penyebutan sebagian anggota dari keumuman tidaklah mengkhususkan keumuman tersebut. Kaedah ini telah dijelaskan oleh Syaikh Al-Utsaimin dengan panjang lebar. Sebagai contoh : jika Pak Dosen berkata, "Muliakanlah semua mahasiswa", ini merupakan lafal umum. Kemudian ia berkata lagi, "Muliakanlah mahasiswa yang bernama Muhammad". Dan Muhammad adalah salah satu anggota dari keumuman lafal "semua mahasiswa". Maka tidaklah dipahami dari perkataan pak dosen bahwasanya keumuman tersebut dikhususkan sehingga yang dimuliakan hanyalah si Muhammad. Hal ini juga sebagaimana dalam permasalahan ini. Jika disebutkan dalam sebuah hadits bahwasanya Nabi asalnya duduk dalam sholat dengan cara iftirosy, lantas datang dalam hadits yang lain โseperti hadits Rifa'ah- bahwasanya Nabi memerintahkan bahwa untuk duduk iftirosy di tengah sholat (tasyahhud awal) maka hal ini tidak melazimkan kalau di akhir sholat maka tidak iftirosy
- Pendalilan seperti ini (pengkhususan dengan hadits Rifa'ah) merupakan pendalilan dengan mafhuum al-mukhoolafah, sejenis dengan mafhuumul 'adad
- Justru dzohir dari hadits Rifa'ah yaitu Nabi sedang berbicara tentang sholat yang ada dua tasyahhudnya, karena Nabi mensifati tasyahhud awal dengan di tengah sholat, berarti di akhir sholat adalah tasyahhud akhir. Dan ini semakna dengan hadits Abu Humaid, dan keluar dari medan khilaf, karena khilaf yang sedang kita bahas antara madzhab Syafi'i dan madzhab Hanbali adalah pada sholat yang hanya memiliki satu tasyahhud.
Ketiga : Dalil yang dikemukakan oleh Madzhab Hanbali bukan hanya hadits Aisyah, ada hadits yang lainnya yang lebih umum lagi yaitu hadits Wail bin Hujr.
ุฑูุฃูููุชู ุฑูุณููููู ุงูููู ุตููููู ุงูููู ุนููููููู ููุณููููู ู ุญููููู ุฌูููุณู ูููู ุงูุตูููุงูุฉู ุงููุชูุฑูุดู ุฑูุฌููููู ุงููููุณูุฑูู ููููุตูุจู ุฑูุฌููููู ุงููููู ูููู
โAku melihat Rasulullah โ shallallahu โalaihi wa sallam โ ketika duduk dalam shalat, beliau menghamparkan kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya (duduk iftirasy, pent).โ (HR. Ibnu Khuzaimah no 691)
Dalam lafal yang lain
ููููู ููุง ุฌูููุณู ููุนูููู ูููุชููุดููููุฏู ุงููุชูุฑูุดู ุฑูุฌููููู ุงููููุณูุฑูู ููููุถูุนู ููุฏููู ุงููููุณูุฑูู ููุนูููู ุนูููู ููุฎูุฐููู ุงููููุณูุฑูู ููููุตูุจู ุฑูุฌููููู ุงููููู ูููู
โMaka tatkala beliau duduk untuk tasyahhud, beliau menghamparkan kaki kirinya dan meletakkan tangan kirinya di atas pahanya , dan menegakkan kaki kanannya (duduk iftirasy, pent).โ (HR. Tirmidzi no 292).
Dalam lafal yang lain :
ูุฅุฐุง ุฌูููุณู ุงููุชูุฑูุดู
Dan jika Nabi duduk (dalam sholat-pent) beliau beriftirosy. (HR At-Thobrooni dalam Al-Mu'jam Al-Kabiir 22/33 no 78)
Penulis katakan bahwasanya hadits Wail bin Hujr lebih umum karena menjelaskan bahwasanya Nabi setiap duduk dalam sholat beliau duduk iftirosy. Mencakup segala bentuk duduk, apakah duduk diantara dua sujud, ataukah duduk istirohah, ataukah duduk tatkala sholat dua rakaat, ataukah duduk tatkala sholat satu rakaat.
Keempat : keumuman dalil-dalil yang digunakan oleh Hanabilah (seperti hadits Aisyah, Abdullah bin Az-Zubair dan Wail Bin Hujr) dikhususkan oleh madzhab Hanabilah dengan hadits Abu Humaid. Oleh karenanya meskipun hadits-hadits tersebut menjelaskan bahwasanya Nabi duduk iftirossy pada setiap duduk beliau dalam sholat akan tetapi hadits tersebut dikhususkan dengan hadits Abu Humaid, sehingga untuk sholat yang memiliki dua tasyahhud maka pada tasyahhud yang kedua dengan duduk tawarruk. Oleh karenanya Madzhab Hanabilah dan madzhab As-Syafi'i bersepakat dalam hal ini.
Adapun sholat yang memiliki hanya satu tasyahhud โbaik sholat dua rakaat atau satu rakaat- maka tidak dikhususkan oleh hadits Abu Humaid, jadi kita kembalikan kepada asal keumuman hadits Wail bin Hujr bahwasanya Nabi jika duduk dalam sholat beliau duduk dengan duduk iftirosy. Inilah yang dipahami oleh Syaikh Al-Utsaimin dan Syaikh Al-Albani rahimahumallah.
Syaikh Al-'Utsaimin pernah ditanya ู ุง ููููุฉ ุงูุฌูุณุฉ ููุชุดูุฏ ูู ุตูุงุฉ ุงููุชุฑุ "Bagaiamanakah cara duduk tasyahhud pada sholat witir?"
ูุฃุฌุงุจ ูุถููุชู ุจูููู: ุงูุฅูุณุงู ูู ุตูุงุฉ ุงููุชุฑ ูุฌูุณ ู ูุชุฑุดุงูุ ูุฃู ุงูุฃุตู ูู ุฌูุณุงุช ุงูุตูุงุฉ ุงูุงูุชุฑุงุดุ ุฅูุง ุฅุฐุง ูุงู ุฏููู ุนูู ุฎูุงู ุฐููุ ูุนูู ูุฐุง ููููู ูุฌูุณ ููุชุดูุฏ ูู ุงููุชุฑ ู ูุชุฑุดุงูุ ููุง ุชูุฑู ุฅูุง ูู ุตูุงุฉ ูููู ููุง ุชุดูุฏุงู ููููู ุงูุชูุฑู ูู ุงูุชุดูุฏ ุงูุฃุฎูุฑ ูููุฑู ุจููู ูุจูู ุงูุชุดูุฏ ุงูุฃูู ููุฐุง ุฌุงุกุช ุงูุณูุฉุ ูุงููู ุฃุนูู
Beliau menjawab, "Seseorang tatkala sholat witir duduk iftirosy, karena asal dalam duduk dalam sholat adalah iftirosy. Kecuali jika ada dalil yang menunjukan yang lain. Oleh karenanya kami katakan : ia duduk iftirosy tatkala sholat witir, dan ia tidak duduk tawarruk kecuali pada sholat yang memiliki dua tasyahhud, maka duduk tawarruk dilakukan tatkala tasyahhud akhir karena adanya perbedaan antara tasyahhud akhir dan tasyahhud awal. Demikianlah sunnah. Wallahu A'lam" (Majmuu' Fataawaa wa Rosaail Syaikh Al-'Utsaimiin 14/159 no 784)
Syaikh Al-Albani berkata,
ูุงูุตูุงุจ ุงูุฐู ุชุฏู ุนููู ุงูุฃุญุงุฏูุซ ุงูุตุญูุญุฉ : ุฃู ุงูุงูุชุฑุงุด ูู ุงูุฃุตู ู ุงูุณูุฉ ุ ุนูู ุญุฏูุซ ุงุจู ุนู ุฑ ุงูู ุฎุฑุฌ ูู ยซ ุงูุฅุฑูุงุก ยป ( 317 ) ุ ููุญูู ุญุฏูุซ ุนุงุฆุดุฉ ุงูุฐู ูุจูู ( 316 ) ุ ูููุชุฑุด ูู ูู ุฌูุณุฉ ููู ูู ุชุดูุฏ ุ ุฅูุง ุงูุชุดูุฏ ุงูุฃุฎูุฑ ุงูุฐู ูููู ุงูุณูุงู ุ ูู ุง ุฌุงุก ู ูุตูุงู ูู ุญุฏูุซ ุฃุจู ุญู ูุฏ ุงูุณุงุนุฏู
"Yang benar sebagaimana ditunjukan oleh hadits-hadits yang shahih bahwasanya duduk iftirosy adalah asal (duduk dalam sholat-pen) dan merupakan sunnah berdasarkan hadits Ibnu Umar yang telah ditakhrij di kitab Al-Irwaa no 317, dan juga semisalnya hadits Aisyah sebagaimana ditakhrij sebelumnya no 316. Maka seseorang duduk iftirosy di setiap duduk (dalam sholat) dan di setiap tasyahhud, kecuali tasyahhud akhir yang diikuti dengan salam, sebagaimana telah datang secara terperinci dalam hadits Abu Humaid As-Saa'idi" (Silsilah Al-Ahaadits Ad-Dlo'iifah 12/268)
Dialog
Jika pengkritik berkata, "Jika kita beramal berdasarkan keumuman duduk iftirasy dalam hadits tersebut, lalu bagaimana dengan keumuman hadits Abdullah bin โUmar yang menyebutkan duduk tawarruk dalam shalat dan tidak merinci apakah duduk dipertengahan shalat ataukah di akhir shalat?,
Bukankah Ibnu Umar berkata
ุฅูู ุง ุณููููุฉู ุงูุตููููุงุฉู ุฃููู ุชูููุตูุจู ุฑูุฌููููู ุงููููู ูููู ููุชูุซููููู ุงููููุณูุฑูู
"Sesungguhnya sunnahnya sholat (ketika duduk-pent) adalah engkau menegakkan kaki kananmu dan melipat kaki kirimu" (HR Al-Bukhari no 793).
Ibnu Hajar telah menjelaskan bahwasanya meskipun hadits ini belum jelas tentang bagaimana cara Ibnu Umar melipat kaki kirinya, apakah dengan duduk iftirosy atauhkah dengan tawaruuk. Akan tetapi dalam riwayat yang lain dalam Muwatto' Imam Malik dijelaskan bahwasanya maksud cara melipatan kaki kiri tersebut adalah dengan duduk tawarruk (lihat Fathul Baari 2/306)
Adapun riwayat tersebut adalah sebagai berikut :
Dari Yahya bin Saโid bahwasanya
ุฃูููู ุงููููุงุณูู ู ุจู ู ูุญูู ููุฏู ุฃูุฑูุงููู ู ุงููุฌููููุณู ูู ุงูุชููุดููููุฏู ููููุตูุจู ุฑูุฌููููู ุงููููู ูููู ูุซูู ุฑูุฌููููู ุงููููุณูุฑูู ููุฌูููุณู ุนูู ููุฑููููู ุงูุฃูููุณูุฑู ููู ููุฌูููุณู ุนูู ููุฏูู ููู ุซูู ูู ูุงู ุฃูุฑูุงููู ูุฐุง ุนุจุฏ ุงููู ุจู ุนุจุฏ ุงููู ุจู ุนูู ูุฑู ููุญูุฏููุซูููู ุฃูููู ุฃูุจูุงูู ูุงู ููููุนููู ุฐูู
Al-Qasim bin Muhammad memperlihatkan
kepada mereka cara duduk ketika tasyahhud, lalu beliau menegakkan kaki
kanannya dan melipat kaki kirinya, dan duduk di atas pantat kirinya dan
tidak duduk di atas kakinya. Lalu dia berkata: Abdullah bin Abdullah bin
โUmar telah memperlihatkan kepadaku demikian, dan mengabariku bahwa
ayahnya (Abdullah bin โUmar) melakukan yang demikian itu"
(Al-Muwaththaโ, dalam Bab: Al-โAmal Fil Juluus Fis Shalaah 1/90 no 202)
Jadi tidak diragukan lagi bahwa maksud Ibnu Umar dalam hadits diatas adalah duduk tawaruuk.
Lantas kenapa kalian tidak mengamalkan keumuman hadits Ibnu Umar ini sehingga kalian duduk tawaruuk pada setiap tasyahhud dalam sholat, termasuk pada sholat yang tasyahhudnya hanya satu?" (lihat http://jalansunnah.wordpress.com/2009/12/07/cara-duduk-tasyahhud-akhir-dalam-setiap-sholat/ dan http://www.rumaysho.com/hukum-islam/shalat/3191-cara-duduk-tasyahud-iftirosy-atau-tawarruk.html
Jawab:
Apakah hadits Ibnu Umar ini bersifat umum?
Jawabannya sebagaimana telah dijelaskan oleh Ibnu Hajar bahwasanya ada dua riwayat yang lain yang menjelaskan akan hal ini. Satu riwayat dalam kitab Al-Muwatto menjelaskan bahwa maksud Ibnu Umar dalam hadits di atas adalah cara duduk tatkala tasyahhud terakhir. Beliau berkata
Lantas kenapa kalian tidak mengamalkan keumuman hadits Ibnu Umar ini sehingga kalian duduk tawaruuk pada setiap tasyahhud dalam sholat, termasuk pada sholat yang tasyahhudnya hanya satu?" (lihat http://jalansunnah.wordpress.com/2009/12/07/cara-duduk-tasyahhud-akhir-dalam-setiap-sholat/ dan http://www.rumaysho.com/hukum-islam/shalat/3191-cara-duduk-tasyahud-iftirosy-atau-tawarruk.html
Jawab:
Apakah hadits Ibnu Umar ini bersifat umum?
Jawabannya sebagaimana telah dijelaskan oleh Ibnu Hajar bahwasanya ada dua riwayat yang lain yang menjelaskan akan hal ini. Satu riwayat dalam kitab Al-Muwatto menjelaskan bahwa maksud Ibnu Umar dalam hadits di atas adalah cara duduk tatkala tasyahhud terakhir. Beliau berkata
ููุฃูููู ููู ุงูู ูุทุฃ ุฃูููุถูุง ุนู ุนุจุฏ ุงููู ุจู ุฏููุงุฑ ุงูุชููุตูุฑูููุญู ุจูุฃูููู ุฌูููููุณู ุงุจููู ุนูู ูุฑู ุงููู ูุฐูููููุฑู ููุงูู ููู ุงูุชููุดููููุฏู ุงูุฃูุฎูููุฑู
"Karena di dalam kitab Muwatto' juga dari Abdullah bin Diinaar menegaskan bahwa duduknya Ibnu Umar yang disebutkan dalam hadits di atas adalah pada tasyahhud yang terakhir" (Fathul Baari 2/306)
Adapun riwayat yang diisyaratkan oleh Ibnu Hajar adalah sbb:
ุนู ู ูุงูููู ุนู ุนุจุฏ ุงููู ุจู ุฏููููุงุฑู * ุฃูููููู ุณู ุน ุนูุจูุฏู ุงููู ุจู ุนูู ูุฑู ููุตููููู ุฅูู ุฌูููุจููู ุฑูุฌููู ููู ุง ุฌูููุณู ุงูุฑููุฌููู ูู ุฃูุฑูุจูุนู ุชูุฑูุจููุนู ูุซูู ุฑูุฌููููููู ููู ุง ุงููุตูุฑููู ุนุจุฏ ุงููู ุนูุงุจู ุฐูู ุนููู ููุงู ุงูุฑููุฌููู ููุฅูููููู ุชูููุนููู ุฐูู ููุงู ุนุจุฏ ุงููู ุจู ุนูู ูุฑู ููุฅููููู ุฃูุดูุชูููู
Dari Imam Malik, dari Abdullah bin Diinaar bahwasanya ia mendengar Ibnu Umar, dan ada seseorang yang sholat di sisinya. Tatkala orang tersebut duduk di raka'at yang keempat maka diapun duduk bersila dan melipat kedua kakinya. Tatkala Ibnu Umar selesai sholat maka diapun menegur orang tersebut. Maka orang itupun berkata, "Engkau juga melakukan hal itu". Maka Ibnu Umar berkata, "Aku sedang sakit" (Al-Muwattho' 1/88 no 199)
Selain itu Ibnu Hajar juga menjelaskan ternyata ada riwayat yang lain dari Ibnu Umar yang maknanya sebaliknya, yaitu Nabi selalu duduk iftirosy. Beliau berkata
ููุฑูููู ุงููููุณูุงุฆูููู ู ููู ุทูุฑููููู ุนูู ูุฑูู ุจููู ุงููุญูุงุฑูุซู ุนููู ููุญูููู ุจููู ุณูุนูููุฏู ุฃู ุงููุงุณู ุญุฏุซู ุนู ุนุจุฏ ุงููู ุจู ุนุจุฏ ุงููู ุจู ุนู ุฑ ุนู ุฃุจูู ูุงู ู ููู ุณููููุฉู ุงูุตูููุงูุฉู ุฃููู ููููุตูุจู ุงููููู ูููู ููููุฌูููุณู ุนูููู ุงููููุณูุฑูู ูุฅุฐุง ุญู ูุช ูุฐู ุงูุฑูุงูุฉ ุนูู ุงูุชุดูุฏ ุงูุฃูู ูุฑูุงูุฉ ู ุงูู ุนูู ุงูุชุดูุฏ ุงูุฃุฎูุฑ ุงูุชูู ุนููู ุง ุงูุชุนุงุฑุถ
"Dan An-Nasaai meriwayatkan dari jalan
'Amr bin Al-Haarits dari Yahyaa bin Sa'iid bahwasanya Al-Qoosim
mengabarkan kepadanya dari Abdullah bin Abdullah bin Umar dari ayahnya
(Ibnu Umar) berkata, "Termasuk sunnahnya sholat menegakkan kaki kanan
dan duduk di atas kaki kiri". Maka jika riwayat ini dibawakan pada
tasyahhud awal dan riwayat Imam Malik dibawakan pada tasyahhud akhir
maka hilanglah pertentangan dari dua riwayat ini" (Fathul Baari 2/306,
adapun riwayat tersebut diriwayatkan oleh Al-Nasaai dalam sunannya
al-mujtabaa no 1158 dengan lafal ู
ู ุณููููุฉู ุงูุตููููุงุฉู ุฃููู ุชูููุตูุจู
ุงููููุฏูู
ู ุงููููู
ูููู ููุงุณูุชูููุจูุงูููู ุจูุฃูุตูุงุจูุนูููุง ุงููููุจูููุฉู
ููุงููุฌููููุณู ุนูู ุงููููุณูุฑู tatkala An-Nasaai menjelaskan tentang sifat
tasyahhud awal)
Dari penjelasan Ibnu Hajar diatas jelaslah kurang tepatnya orang yang berkata "Hadits Ibnu โUmar lebih umum lagi, dimana Ibnu โUmar mengatakan โsesungguhnya sunnahnya shalat (ketika duduk)โ dan beliau tidak menyebutkan rakaโat ke berapa, dan shalatnya berapa rakaโat. Maka jika anda beramal dengan keumuman hadits Wail dan yang semisalnya, maka amalkan pula hadits Abdullah bin โUmar secara umum,dengan duduk tawarruk pada setiap duduk ketika shalat"
Catatan sangat penting:
Para pembaca yang budiman, lihatlah bagaimana Ibnu Hajar bermu'amalah (mensikapi) hadits Ibnu Umar di atas. Beliau tidak langsung menilai bahwa lafal yang datang dalam hadits Ibnu Umar tersebut bersifat umum. Akan tetapi beliau berusaha mencari jalan-jalan dan riwayat-riwayat yang lain dari hadits Ibnu Umar ini agar jelas maksud hadits Ibnu Umar. Setelah beliau menemukan riwayat yang menjelaskan bahwa perkataan Ibnu Umar tersebut berkaitan dengan sebuah kejadian dimana Ibnu Umar duduk di raka'at yang keempat maka Ibnu Hajar membawa hadits tersebut dalam kondisi tasyahhud yang terakhir, yaitu bahwasanya duduk tawarruk yang disebutkan oleh Ibnu Umar adalah maksudnya pada duduk tasyahhud akhir.
Cara inilah yang sedang penulis tempuh. Karena hadits Abu Humaid As-Saa'idi menjelaskan tentang sebuah sholat tertentu yaitu yang memiliki dua tasyahhud dan beliau tidak sedang berbicara tentang semua jenis sholat, maka kita bawakan keumuman lafal yang disebutkan oleh Abu Humaid adalah pada sholat yang memiliki dua tasyahhud, sehingga duduk tawarruk dalam hadits Abu Humaid hanyalah berlaku pada tasyahhud kedua. Dan inilah yang dilakukan oleh mayoritas ulama sunnah abad ini, seperti Syaikh Al-Albani dan Syaikh Bin Baaz.
Kemudian bukankah lafal hadits Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari yaitu
ุฅูู ุง ุณููููุฉู ุงูุตููููุงุฉู ุฃููู ุชูููุตูุจู ุฑูุฌููููู ุงููููู ูููู ููุชูุซููููู ุงููููุณูุฑูู
"Sesungguhnya sunnahnya sholat (ketika duduk-pent) adalah engkau menegakkan kaki kananmu dan melipat kaki kirimu " (HR Al-Bukhari no 793).
Tanpa ada penjelasan tentang bagaimana cara duduknya, apakah dengan iftirosy ataukah dengan tawarruk?. Apakah hanya dengan berpegang dengan lafal Bukhari ini lantas kita katakana bahwa bebas bagi seseorang untuk dalam sholat apakah tasyahhud awal atau tasyahhud akhir dengan duduk tawarruk atau iftirosy, karena lafal Bukhari tersebut yang tidak jelas?
Jawabannya tidak. Sebagaimana yang dilakukan oleh pengkritik, ternyata ia membawa lafal Bukhari ini, yang mana lafal tersebut masih umum untuk dikhususkan dengan lafal yang terdapat di Muwathho' yang menjelaskan bahwa duduk yang dimaksud Ibnu Umar adalah duduk tawaruuk.
Maka demikian pula yang penulis lakukan, dengan membawa seluruh lafal-lafal hadits Abu Humaid yang bersifat umum kepada lafal yang menunjukan bahwa maksud Abu Humaid adalah untuk sholat yang memiliki dua tasyahhud.
Kesimpulan
Dari pemaparan sederhana di atas maka penulis lebih condong pada pendapat madzhab Hanabilah, bahwasanya sholat yang memiliki satu tasyahhud saja maka duduknya adalah iftirosy karena keumuman hadits Wail bin Hujr. Dan inilah pendapat yang dikuatkan oleh Syaikh Bin Baaz (lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Daaimah 7/17-18 soal no 2232), Syaikh Albani (Ashl sifat sholaat An-Nabiy 3/829 dan Irwaaul Golil 2/23) dan Syaikh Al-Utsaimin (lihat Majmuu' Fataawaa wa Rosaail Syaikh Al-'Utsaimiin 14/159 no 784).
Bagaiamanapun ini adalah permasalahan khilafiyah ijtihadiah yang kita harus toleransi terhadap orang yang menyelisihi kita. Dan bagaimanapun penulis berusaha untuk memaparkan permasalahan ini toh penulis tidak mampu untuk memenuhi hak pembahasan permasalahan ini dengan sempurna.
Kota Nabi shallallahu โalaihi wa sallam, 15 Syawal 1431 H / 24September 2010 M
Disusun oleh Abu Abdil Muhsin Firanda Andirja
Artikel: www.firanda.com
Fiqh
- KEUTAMAAN 10 DZULHIJJAH
- Larangan Mencukur Bagi Yang Hendak Berkurban
- Apakah Menggaruk 3 kali Dalam Sholat Membatalkan Sholat?
- Jika Imam Qunut Subuh Apakah Makmum Harus Ikut Qunut? Kapankah Makmum Harus Sesuai Imam dan Kapankah Boleh berbeda?
- Hukum Hadiah Seorang Ayah Yang Diberikan Kepada Anak-Anaknya Dengan Tidak Adil
- Keberadaan Alien menurut Al-Qurโan
- Bolehkah Seorang Ibu Tatkala Menyusui Anaknya Menampakkan Sebagian Payudaranya Dihadapan Wanita Lain
- Bolehkah Jilbab Berwarna Kuning Atau Yang Lainnya?
0 comments:
Post a Comment
Komentar anda akan dihapus jika :
1. SPAM atau meninggalkan komentar mengandung unsur SARA
2. Berkata kasar atau kata-kata negatif lainnya
3. Meninggalkan komentar dengan link hidup
4. Komentar tidak berhubungan dengan tema
5. Jika anda ingin berlangganan "komentar" dari artikel ini, pilih link "Subscribe by email" pada bagian bawah form komentar