5:48 PM
Unknown
Sungguh Allah Ta’ala dengan iradah azaliyah-Nya telah menghadirkan
seorang wanita, yang langit dan bumi belum pernah dan tidak akan pernah
menyaksikan, sebelum dan sesudahnya, wanita seperti dia. Ia dilahirkan
dari dua manusia suci. Yang satu Muhammad bin Abdullah, ayahandanya yang
sangat menyayanginya, yang sekaligus merupakan seorang Nabi yang paling
mulia di antara Nabi yang diutus, dan makhluk Tuhan yang paling
dicintai-Nya. Yang satunya lagi adalah ibunda tercintanya, Khadijah
binti Khuwailid, seorang wanita yang mengorbankan segala yang
dimilikinya demi kebenaran.
Tidak heran kalau sang bayi mungil, yang terlahir dari dua orang suci
tersebut, mewarisi segala kemuliaan dan kebesaran kedua orang tuanya,
dan kelak bumi dan langit serta segala isinya akan menjadi saksi tentang
ketegaran dan keagungan bayi tersebut.
Kehadirannya di tengah-tengah bangsa yang biadab, keras kepala dan
yang mengubur wanita hidup-hidup, menjadikannya lebih cemerlang dan
bersinar. Semua itu terjadi bukan secara kebetulan dan tanpa
perhitungan, akan tetapi akibat dari sebuah rekayasa Tuhan yang amat
cermat dan tepat.
Dia lahir lima tahun setelah ayahanda tercintanya diberi tugas yang
amat berat dan sangat suci, yaitu untuk menyelamatkan seluruh umat
manusia dari kehancuran menuju kedamaian. Sang bayi mungil, sebagaimana
bayi-bayi lainnya, mendapatkan belaian kasih sayang dari kedua tangan
ibundanya dan curahan kecintaan dari kedua mata ayahandanya.
Dia mulai menyadari, bahwa kehadirannya benar-benar merupakan
anugerah Tuhan untuk kedua orang tuanya. Hari demi hari silih berganti,
dilewatkannya dengan penuh keindahan dan kesenangan. Namun kesenangan
dan keceriaan si kecil tadi hanyalah merupakan satu episode khusus dari
serangkaian episode skenario Tuhan yang penuh keharuan, kesedihan,
deraian air mata dan tekanan batin. Seakan-akan sang Sutradara Agung
yang Maha bijak hendak menampilkannya sebagai sosok yang menjadi tumbal
keserakahan umat manusia.
Disaat Fathimah kecil beranjak usia lima tahun, ibunda tercintanya
pergi untuk selamanya. Dan segera setelahnya, paman ayahanda beliau yang
kharismatik, Abu Thalib, juga menyusul ke alam baqa. Belaian kasih
sayang kedua tangan ibundanya tidak akan pernah dialaminya lagi.
Sejak kepergian Abu Thalib dan khadijah, Fathimah kecil harus
bersiap-siap menghadapi kegetiran dan kepahitan hidup. Serigala-serigala
padang pasir yang lapar dan sadis, sudah mulai meneteskan air liurnya
dan meraung-raung yang menandakan pesta jahiliyah segera dimulai.
Mereka tidak sabar lagi untuk merobek-robek relung hati si kecil yang
suci, Fathimah, yang baru saja kehilangan ibundanya. Maka babak baru
kehidupan Fathimah kecil yang sangat berbeda dengan sebelumnya, segera
dimulai.
Ketegaran yang diwarisi Fathimah kecil dari ibunda dan ayahandanya,
tidak menjadikannya sebagai seorang anak kecil yang mudah merengek. Dia
tampil seakan-akan seorang wanita dewasa yang matang dan penuh
pengertian.
Jika dia menangis, hal itu bukan karena dan untuk dirinya sendiri,
tetapi disebabkan dan untuk ayahandanya dan para sahabatnya yang
senantiasa diganggu dan disiksa kaum musyrikin.
Para ahli sejarah menceritakan, bahwa pernah suatu waktu ketika
Rasulullah saaw sedang menunaikan shalat di mesjid al-Haram, beliau
tunduk bersujud di hadapan Sang Pencipta. Tiba-tiba datanglah sejumlah
pembesar Quraisy menghampirinya dan melempari kepala dan punggung beliau
dengan kotoran binatang. Beliau diam dan tetap meneruskan sujudnya.
Fathimah kecil menyaksikan sendiri perbuatan amoral yang menimpa
ayahandanya itu di hadapan kedua matanya yang bening. Lalu dia segera
mendekatinya dan membersihkan kotoran binatang tersebut dari kepala dan
punggung ayahandanya dengan kedua tangannya yang lembut. Kedua matanya
berderai air mata.
Sekali-sekali terdengar isak tangis dari rongga dadanya yang dalam,
keluar tidak tertahan lagi. Rasulullah saaw segera menatap muka Fathimah
yang sedih, kemudian memeluknya sambil bersabda, “Putriku, janganlah
engkau bersedih. Hal ini tidak akan berlangsung lama, sambil
menghiburnya.”
Betapa besar perjuangan dan pembelaan Fathimah terhadap ayahandanya,
sehingga posisi Fathimah seakan-akan tidak lagi sebagai putri
Rasulullah. Tetapi sebaliknya, Fathimah yang begitu dewasa dan matang
pribadinya dan selalu berada di samping ayahandanya, seakan-akan menjadi
ibu bagi ayahandanya sendiri. “Fathimah Ummu Abihaa,” demikianlah
Rasulullah saaw menggelarinya.
Sebagai seorang putri Rasulullah saaw, Fathimah hidup penuh
kesederhanaan. Dalam kitab-kitab hadis diriwayatkan, bahwa Salman
al-Farisi kelaparan, lalu dia berkeliling ke rumah istri-istri Nabi yang
sembilan, tetapi dia tidak mendapatkan apa-apa. Ketika hendak kembali,
dia melihat rumah Fathimah. Kepada dirinya dia bergumam, “Mudah-mudahan
ada rezeki di rumah Fathimah putri Muhammad saaw.”
Kemudian dia mengetuk pintu rumah Fathimah. Dari balik pintu
terdengar suara, “Siapa di balik pintu ?” “Aku, Salman al-Farisi,”
sahut Salman. “Wahai Salman, apa yang anda inginkan ? tanya Fathimah.
Lalu Salman menceritakan maksudnya.
Setelah itu Fathimah berkata, “Wahai Salman, demi Yang mengutus
Muhammad saaw dengan kebenaran sebagai Nabi. Sungguh, aku sudah tidak
makan selama tiga hari. Demikian pula al-Hasan dan al-Husain, gemetar
sekujur tubuhnya karena lapar yang sangat. Lalu keduanya tertidur
bagaikan dua ekor anak burung yang tidak berbulu. Tapi aku tidak menolak
kebaikan, jika datang di pintuku,” jelas Fathimah.
Kemudian Fathimah melanjutkan perkataannya, “Wahai Salman, ambilah
baju perang ini, lalu pergilah kepada Syam’un Yahudi dan katakan
kepadanya, bahwa Fathimah putri Muhammad berkata kepadamu, “Berilah aku
hutang seikat kurma dan gandum, dengan jaminan baju besi ini. Nanti
Insya Allah aku akan membayarnya kepadamu.”
Lalu Salman mengambil baju besi itu dan membawanya kepada Syam’un
Yahudi. “Wahai Syam’un, ini adalah baju besi Fathimah putri Muhammad
saaw. Dia berkata kepadamu, Berilah aku hutang seikat kurma dan gandum,
dengan jaminan baju besi ini, nanti Insya Allah aku akan membayarnya
kepadamu.”
Kemudian Syam’un mengambil baju besi tersebut, dan
membolak-balikkannya dengan telapak tangannya, sementara kedua matanya
berderai air mata sambil berkata, “Wahai Salman, inilah kezuhudan dalam
dunia. Inilah yang diberitakan oleh Musa bin Imran kepada kami di dalam
Taurat. Kini aku bersaksi, bahwa tiada Tuhan selain Allah dan aku
bersaksi Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.” Si Yahudi tersebut
akhirnya masuk Islam.
Selain hidupnya yang amat sederhana dan kepedulian sosialnya yang
sangat tinggi, siti Fathimah as. juga dikenal sebagai seorang yang
abidah (ahli ibadah).
Al-Hasan bin Ali as. berkata, “Aku melihat ibuku, Fathimah berdiri di
mihrabnya pada malam jum’at. Beliau senantiasa ruku dan sujud hingga
cahaya fajar menyingsing. Aku mendengar dia mendoakan orang-orang mukmin
dan mukminat, bahkan menyebutkan nama-nama mereka satu demi satu. Dia
banyak mendoakan mereka, tetapi tidak pernah mendoakan dirinya.
Lalu aku bertanya kepadanya, “Wahai ibu, mengapa engkau tidak
mendoakan dirimu sendiri, sebagaimana ibu mendoakan yang lainnya ?
Beliau menjawab, “Wahai anakku, tetangga lebih didahulukan, baru rumah
sendiri.”
Fathimah juga adalah seorang muslimah yang sangat afifah. Pernah
suatu waktu Nabi bertanya kepadanya, “Apa yang terbaik bagi wanita ?
Yaitu wanita yang tidak melihat laki-laki dan tidak dilihat laki-laki,”
jawabnya dengan yakin. Lalu Nabi memeluknya sambil membacakan ayat
berikut, “Satu keturunan yang sebagiannya dari yang lain.” (QS.
Ali-Imran : 34).
Fathimah as. yang sejak usia dini sudah menderita, maka penderitaan
baginya menjadi suatu yang biasa. Penderitaan, tekanan dan kehidupan
yang demikian pas-pasan telah menghiasi kehidupan Fathimah. Ironisnya,
penderitaan dan kepedihan tersebut makin menguat sepeninggal ayahandanya
tercinta.
Jika Fathimah ketika kecil dan dewasa menyaksikan dengan sedih
gangguan dan rongrongan kaum musyrikin terhadap ayahandanya, maka
sepeninggal ayahandanya hingga akhir hayatnya, Fathimah menyaksikan
penghianatan dan ekploitasi umat ayahandanya terhadap suaminya Ali dan
dirinya sendiri.
Sudah tentu yang terakhir lebih melukai dan menyakitkan hatinya.
Simaklah kisah berikut, ketika Fathimah as. bersimpuh di pusara
ayahandanya, untuk melaporkan padanya tentang keadaan yang telah berubah
secara drastis sepeninggal ayahnya. Dengan suara parau dan mengharukan
dia berkata, “Wahai ayahku, sepeninggalmu sungguh betapa banyak berita
duka dan tekanan terhadapku. Sekiranya engkau masih berada di
tengah-tengah kami, maka keserakahan-keserakahan itu tidak akan banyak.”
Walaupun Fathimah masih berduka dengan kematian ayahandanya tercinta,
dia tetap tampil tegar ketika melihat adanya penyimpangan-penyimpangan
di tengah masyarakat Islam.
Sejarah telah merekamkan untuk kita, bahwa setelah meninggal
ayahandanya, lalu kaum muslimin mengangkat Abu bakar sebagai khalifah,
maka Siti Fathimah naik mimbar dan berkhutbah di hadapan kaum Anshar dan
Muhajirin. Dalam khutbahnya, Siti Fathimah menjelaskan tentang Tauhid,
Kenabian dan Kepemimpinan serta memperingatkan penyimpangan-penyimpangan
yang dilakukan sejumlah kaum muslimin.
Banyak dari kalangan sahabat Nabi yang menangis mendengarkan khutbah dan peringatan Fathimah tersebut.
Akhirnya Fathimah berpulang ke haribaan Tuhan, enam bulan setelah
kepergian ayahandanya. Fathimah pergi dengan hati yang duka dan terluka.
Fathimah diciptakan seakan-akan hanya untuk mendampingi ayahandanya.
Sejak dia berusia lima tahun, dia sudah menjadi seorang ibu bagi
ayahandanya. Kemudian setelah sang ayah pergi, diapun segera pergi
menyusulnya.
Besar nian jasamu wahai Fathimah,
dalam membela ayahmu.
Sungguh panjang dan dalam deritamu,
sejak ayahmu menjadi bulan-
bulanan kaum musyrikin.
Betapa sakit dan pedih hatimu
dikala engkau menyaksikan
pengkhianatan dan penyimpangan
sebagian umat ayahmu.
Salam sejahtera atasmu,
wahai Fathimah,
di hari lahirmu,
di hari penderitaanmu dan
di hari wafatmu.