


Nikah Mut’ah (Kontrak)
Di antara kesesatan mereka: Mereka
membolehkan nikah mut’ah, bahkan mereka menganggapnya lebih baik
daripada 70 kali pernikahan sebenarnya (yang syar’i). Salah seorang
syaikh mereka yang ekstrim yang bernama Ali bin Al-Ali bahkan
membolehkan 11 orang lelaki melakukan mut’ah dengan satu orang wanita
dalam satu malam. Jika wanita ini akhirnya hamil dan melahirkan anak,
maka kesebelas orang ini harus diundi. Siapa yang namanya terpilih maka
anak itu menjadi anaknya.
Saya berkata: Nikah mut’ah ini persis
seperti pernikahan ala jahiliah yang telah dibatalkan oleh syariat,
sebagaimana yang tersebut dalam Ash-Shahih[1].
Dari Ali dia berkata[2]:
رسول الله صلى الله عليه وسلم نَهَى عَنْ نِكاحِ الْمُتْعَةِ
“Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah melarang nikah mut’ah[3].” (HR. Al-Bukhari, Muslim, dan selainnya[4])
Dan dari Salamah bin Al-Akwa’ radhiallahu anhu:
أنه صلى الله عليه وسلم أباحَ نِكاحَ الْمُتْعَةِ ثُمَّ حَرَّمَها
Bahwa beliau shallallahu alaihi wasallam
pernah membolehkan nikah mut’ah kemudian beliau mengharamkannya.” (HR.
Al-Bukhari dan Muslim[5]) Dan Muslim meriwayatkan dalam Shahihnya dari Saburah[6] dengan lafazh yang mirip dengannya.
Dari Ibnu Umar beliau berkata:
نَهانا عَنْها – يَعْنِي المُتْعَةَ – رسولُ الله صلى الله عليه وسلم
“Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
melarang kami melakukannya – maksudnya mut’ah -.” (HR. Ath-Thabrani
dengan sanad yang kuat[7])
Juga telah dinukil dari Ibnu Abbas pernyataan rujuknya beliau dari pembolehan mut’ah[8].
Ath-Thabrani meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu anhu:
هَدَمَ الْمُتْعَةُ النِّكاحَ وَالطَّلاقَ وَالْعِدَّةَ وَالْمِيْراثَ
“Mut’ah telah merobohkan syariat nikah, talak, ‘iddah, dan warisan.” Sanadnya shahih[9].
Dari Ibnu Abbas radhiallahu anhu dia
berkata, “Mut’ah dulu dibolehkan di awal Islam sampai Allah menurunkan
ayat ini, “.” (QS. An-Nisa`: 23) Dan pembenarannya dari Al-Qur`an
adalah, “.” (QS. Al-Mu`minun: 6) Sehingga semua selain itu adalah
haram.” (HR. Ath-Thabrani dan Al-Baihaqi[10])
Kesimpulannya: Mut’ah dulu pernah
dihalalkan kemudian hukum penghalalannya terhapus dan dia kemudian
diharamkan dengan pengharaman selama-lamanya. Siapa saja yang
melakukannya maka sungguh dia telah membuka pintu perzinahan bagi
dirinya sendiri[11].
[Risalah fi Ar-Radd ala Ar-Rafidhah hal. 87-90]
[1] HR. Al-Bukhari no. 5127 dari Aisyah radhiallahu anha dalam hadits yang panjang.
[2] Mungkin yang benarnya: Bahwa Rasulullah
[3]
Guru kami Al-Wadi’i rahimahullah berkata, “Maka mut’ah telah diharamkan
sampai hari kiamat. Mereka yang membolehkan mut’ah, pembolehan inilah
yang menjadi bukti terbesar bahwa mereka tidak mengikuti Ali bin Abi
Thalib. Karena Ali bin Abi Thalib sendiri telah meriwayatkan dari
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bahwa mut’ah itu haram sampai
hari kiamat.” (Ijabah As-Sa`il hal. 535)
Asy-Syaukani berkata dalam As-Sail Al-Jarrar Al-Mutadaffaq ‘ala Hada`iq Al-Azhar (2/268) tentang pengharaman nikah mut’ah, “Kemudian kaum muslimin telah sepakat akan pengharamannya, sehingga tidak ada yang bertahan di atas pembolehannya kecuali Rafidhah. Namun mereka bukanlah golongan yang perlu dibantah pendapatnya dan mereka bukanlah golongan yang mampu mencacati ijma’. Karena kebanyakan pendapat mereka menyelisihi kitab, sunnah, dan ijma kaum muslimin.”
Asy-Syaukani berkata dalam As-Sail Al-Jarrar Al-Mutadaffaq ‘ala Hada`iq Al-Azhar (2/268) tentang pengharaman nikah mut’ah, “Kemudian kaum muslimin telah sepakat akan pengharamannya, sehingga tidak ada yang bertahan di atas pembolehannya kecuali Rafidhah. Namun mereka bukanlah golongan yang perlu dibantah pendapatnya dan mereka bukanlah golongan yang mampu mencacati ijma’. Karena kebanyakan pendapat mereka menyelisihi kitab, sunnah, dan ijma kaum muslimin.”
[4] HR. Al-Bukhari no. 5115 dan Muslim no. 1407 dengan lafazh:
أنَّ رسولَ الله صلى الله عليه وسلم نَهَى عَنْ مُتْعَةِ النِّساءِ يَوْمَ خَيْبَرَ وَعَنْ أكْلِ لُحُوْمَ الْحُمُرِ الإنْسِيَّةِ
“Bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melarang melakukan
mut’ah dengan para wanita pada masa perang Khaibar dan juga melarang
untuk memakan daging-daging keledai jinak.”
[5] HR. Al-Bukhari no. 5118 dan Muslim no. 1405 dari Iyas bin Salamah dari ayahnya dia berkata:
رَخَّصَ رسولُ الله صلى الله عليه وسلم عامَ أوْطاسٍ فِي الْمُتْعَةِ ثَلاثاً ثُمَّ نَهَى عَنْها
“Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah memberikan keringanan
untuk melakukan mut’ah selama 3 malam pada masa Authas (penaklukan
Makkah). Kemudian setelah itu beliau melarangnya.”
[6] HR. Muslim no. 1406 dengan lafazh:
أنَّ النبيَّ صلى الله عليه وسلم نَهَى عَنْ نِكاحِ الْمُتْعَةِ
“Bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam melarang dari nikah mut’ah.”
[7]
Dalam Al-Ausath no. 9295. Diriwayatkan juga olah Abu Awanah dalam
Musnadnya no. 4083, Al-Baihaqi dalam As-Sunan (7/206), dan ini adalah
hadits yang shahih.
[8]
HR. At-Tirmizi no. 1124, Al-Baihaqi (7/205, 206), dan ini adalah hadits
yang dha’if. Di dalam sanadnya terdapat Musa bin Ubaidah Ar-Rabadzi,
seorang perawi yang dha’if.
Asy-Syaikh Al-Albani berkata dalam Irwa` Al-Ghalil (6/319) setelah beliau menyebutkan hadits Ibnu Abbas, “Kesimpulannya bahwa telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiallahu anhu 3 pendapat tentang mut’ah:
Pertama: Pembolehan secara mutlak. Kedua: Pembolehan dalam keadaan darurat. Ketiga: Pengharaman secara mutlak.
Pendapatnya yang ketiga ini tidak shahih dari Ibnu Abbas secara tegas, berbeda halnya dengan kedua pendapatnya yang pertama.”
Guru kami Al-Wadi’i berkata dalam Ijabah As-Sa`il hal. 534, “Kaum muslimin telah menyatakan haramnya mut’ah. Sebagian sahabat ada yang membolehkan mut’ah, seperti Abdullah bin Abbas, dimana beliau berpendapat bahwa mut’ah boleh dalam keadaan darurat. Namun dia telah diingkari oleh Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu dan beliau berkata kepada Ibnu Abbas, “Sungguh kamu adalah orang yang tersesat.” Dan sangat pantas jika Ali mengingkari Ibnu Abbas radhiallahu anhum.
Asy-Syaikh Al-Albani berkata dalam Irwa` Al-Ghalil (6/319) setelah beliau menyebutkan hadits Ibnu Abbas, “Kesimpulannya bahwa telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiallahu anhu 3 pendapat tentang mut’ah:
Pertama: Pembolehan secara mutlak. Kedua: Pembolehan dalam keadaan darurat. Ketiga: Pengharaman secara mutlak.
Pendapatnya yang ketiga ini tidak shahih dari Ibnu Abbas secara tegas, berbeda halnya dengan kedua pendapatnya yang pertama.”
Guru kami Al-Wadi’i berkata dalam Ijabah As-Sa`il hal. 534, “Kaum muslimin telah menyatakan haramnya mut’ah. Sebagian sahabat ada yang membolehkan mut’ah, seperti Abdullah bin Abbas, dimana beliau berpendapat bahwa mut’ah boleh dalam keadaan darurat. Namun dia telah diingkari oleh Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu dan beliau berkata kepada Ibnu Abbas, “Sungguh kamu adalah orang yang tersesat.” Dan sangat pantas jika Ali mengingkari Ibnu Abbas radhiallahu anhum.
[9]
HR. Al-Baihaqi dalam As-Sunan (7/207), Ibnu Hibban sebagaimana dalam
Al-Ihsan no. 4149, Ad-Daraquthni (3/259), dan Abu Ya’la (11/6625). Ini
adalah hadits yang dha’if karena dalam sanadnya tedapat Mu`amal bin
Ismail yang meriwayatkan dari Ikrimah bin Ammar. Adz-Dzahabi berkata
dalam Al-Mizan pada biografi Mu`ammal, “Hadits yang mungkar.” Ibnu Hajar
berkata dalam Al-Fath ketika mengomentari hadits Ali tentang
pengharaman mut’ah no. 5115, “Itu pun pada hadits Abu Hurairah ada
kritikan. Karena dia berasal dari riwayat Mu`ammal bin Ismail dari
Ikrimah bin Ammar, dan kedua perawi ini telah mendapatkan kritikan.”
[10]
HR. At-Tirmizi no. 1124, Ath-Thabrani no. 10782, dan Al-Baihaqi (7/205,
206). Ini adalah hadits yang dha’if karena dalam sanadnya terdapat Musa
bin Ubaidah Ar-Rabadzi , seorang perawi yang dha’if sebagaimana dalam
At-Taqrib. Hadits ini juga dinyatakan lemah oleh Al-Albani dalam
Al-Irwa` no. 1903
[11]
Imam An-Nawawi berkata, “Yang benarnya bahwa pengharaman dan pembolehan
mut’ah masing-masing terjadi dua kali. Dulunya mut’ah halal sebelum
perang Khaibar, kemudian diharamkan pada perang Khaibar, kemudian mut’ah
kembali dibolehkan pada hari dikuasainya Makkah -yaitu hari Authas
karena waktunya bersambung dengannya-, kemudian tiga hari setelahnya
mut’ah kembali diharamkan dengan pengharaman yang permanen sampai hari
kiamat. Al-Qadhi berkata, “Para ulama telah sepakat bahwa mut’ah ini
dulunya berupa pernikahan berjangka waktu tertentu, yang tidak
mengakibatkan keduanya saling mewarisi. Perceraiannya terjadi cukup
dengan berakhirnya jangka waktu yang telah ditetapkan, tanpa perlu
melafazhkan kata talak. Kemudian setelah itu telah jatuh ijma’ akan
pengharamannya dari seluruh ulama, kecuali Rafidhah.” (Shahih Muslim:
2/1022, ta’liq Muhammad Fu`ad Abdil Baqi)
Saya berkata: Rafidhah tidak diperhitungkan penyelisihan mereka. Silakan baca keanehan-keanehan nikah mut’ah ala Syiah dalam kitab saudara kami yang mulia Muhammad Malullah yang berjudul Asy-Syi’ah wa Al-Mut’ah. Beliau menyebutkan di dalamnya bahwa mereka membolehkan anal sex, bermesraan dengan wanita non mahram, menyewakan vagina, dan semua ini mereka lakukan di balik tirai yang bernama nikah mut’ah. Mereka telah dipermalukan oleh teman mereka yang bernama Husain Al-Musawi dalam kitabnya Lillahi tsumma li At-Tarikh. Di dalamnya anda akan mendapati keanehan tingkat ekstri dari mereka, Rafidhah para pengikut Abdullah bin Saba` sang Yahudi. Semoga Allah membinasakan mereka atas kedustaan mereka.
Saya berkata: Rafidhah tidak diperhitungkan penyelisihan mereka. Silakan baca keanehan-keanehan nikah mut’ah ala Syiah dalam kitab saudara kami yang mulia Muhammad Malullah yang berjudul Asy-Syi’ah wa Al-Mut’ah. Beliau menyebutkan di dalamnya bahwa mereka membolehkan anal sex, bermesraan dengan wanita non mahram, menyewakan vagina, dan semua ini mereka lakukan di balik tirai yang bernama nikah mut’ah. Mereka telah dipermalukan oleh teman mereka yang bernama Husain Al-Musawi dalam kitabnya Lillahi tsumma li At-Tarikh. Di dalamnya anda akan mendapati keanehan tingkat ekstri dari mereka, Rafidhah para pengikut Abdullah bin Saba` sang Yahudi. Semoga Allah membinasakan mereka atas kedustaan mereka.