Memahami tauhid tanpa memahami konsep ibadah adalah mustahil. Oleh
karena itu mengetahuinya adalah sebuah keniscayaan. Penulis syarah
Al-Wajibat menjelaskan, “Ibadah secara bahasa berarti perendahan diri,
ketundukan dan kepatuhan.” (Tanbihaat Mukhtasharah, hal. 28).
Adapun secara istilah syari’at, para ulama memberikan beberapa
definisi yang beraneka ragam. Di antara definisi terbaik dan terlengkap
adalah yang disampaikan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Beliau rahimahullah
mengatakan, “Ibadah adalah suatu istilah yang mencakup segala sesuatu
yang dicintai Allah dan diridhai-Nya, baik berupa perkataan maupun
perbuatan, yang tersembunyi (batin) maupun yang nampak (lahir). Maka
shalat, zakat, puasa, haji, berbicara jujur, menunaikan amanah, berbakti
kepada kedua orang tua, menyambung tali kekerabatan, menepati janji,
memerintahkan yang ma’ruf, melarang dari yang munkar, berjihad melawan
orang-orang kafir dan munafiq, berbuat baik kepada tetangga, anak yatim,
orang miskin, ibnu sabil (orang yang kehabisan bekal di perjalanan),
berbuat baik kepada orang atau hewan yang dijadikan sebagai pekerja,
memanjatkan do’a, berdzikir, membaca Al Qur’an dan lain sebagainya
adalah termasuk bagian dari ibadah. Begitu pula rasa cinta kepada Allah
dan Rasul-Nya, takut kepada Allah, inabah (kembali taat) kepada-Nya,
memurnikan agama (amal ketaatan) hanya untuk-Nya, bersabar terhadap
keputusan (takdir)-Nya, bersyukur atas nikmat-nikmat-Nya, merasa ridha
terhadap qadha/takdir-Nya, tawakal kepada-Nya, mengharapkan rahmat
(kasih sayang)-Nya, merasa takut dari siksa-Nya dan lain sebagainya itu
semua juga termasuk bagian dari ibadah kepada Allah.” (Al ‘Ubudiyah, cet. Maktabah Darul Balagh hal. 6).
Dari keterangan di atas kita bisa membagi ibadah menjadi tiga; ibadah
hati, ibadah lisan dan ibadah anggota badan. Dalam ibadah hati ada
perkara-perkara yang hukumnya wajib, ada yang sunnah, ada yang mubah dan
adapula yang makruh atau haram. Dalam ibadah lisan juga demikian, ada
yang wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram. Begitu pula dalam ibadah
anggota badan. Ada yang yang wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram.
Sehingga apabila dijumlah ada 15 bagian. Demikian kurang lebih kandungan
keterangan Ibnul Qayyim yang dinukil oleh Syaikh Abdurrahman bin Hasan
dalam Fathul Majid.
Ta’abbud dan Muta’abbad bih
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah di dalam
kitabnya yang sangat bagus berjudul Al Qaul Al Mufid menjelaskan bahwa
istilah ibadah bisa dimaksudkan untuk menamai salah satu diantara dua
perkara berikut:
1.Ta’abbud. Penghinaan diri dan ketundukan kepada Allah
‘azza wa jalla. Hal ini dibuktikan dengan melaksanakan perintah dan
menjauhi larangan yang dilandasi kecintaan dan pengagungan kepada Dzat
yang memerintah dan melarang (Allah ta’ala).
2. Muta’abbad bihi. Yaitu sarana yang digunakan dalam
menyembah Allah. Inilah pengertian ibadah yang dimaksud dalam definisi
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, “Ibadah adalah suatu istilah yang mencakup
segala sesuatu yang dicintai Allah dan diridhai-Nya, baik berupa
perkataan maupun perbuatan, baik yang tersembunyi (batin) maupun yang
tampak (lahir)”.
Seperti contohnya sholat. Melaksanakan sholat disebut ibadah karena
ia termasuk bentuk ta’abbud (menghinakan diri kepada Allah). Adapun
segala gerakan dan bacaan yang terdapat di dalam rangkaian sholat itulah
yang disebut muta’abbad bihi. Maka apabila disebutkan kita harus
mengesakan Allah dalam beribadah itu artinya kita harus benar-benar
menghamba kepada Allah saja dengan penuh perendahan diri yang dilandasi
kecintaan dan pengagungan kepada Allah dengan melakukan tata cara ibadah
yang disyari’atkan (Al-Qaul Al- Mufid, I/7).
Pengertian ibadah secara lengkap
Dengan penjelasan di atas maka ibadah bisa didefinisikan secara
lengkap sebagai: ‘Perendahan diri kepada Allah karena faktor kecintaan
dan pengagungan yaitu dengan cara melaksanakan perintah-perintah-Nya dan
menjauhi larangan-larangan-Nya sebagaimana yang dituntunkan oleh
syari’at-Nya.’ (Syarh Tsalatsati Ushul, hal. 37).
Oleh sebab itu orang yang merendahkan diri kepada Allah dengan cara
melaksanakan keislaman secara fisik namun tidak disertai dengan unsur
ruhani berupa rasa cinta kepada Allah dan pengagungan kepada-Nya tidak
disebut sebagai hamba yang benar-benar beribadah kepada-Nya. Hal itu
seperti halnya perilaku orang-orang munafiq yang secara lahir bersama
umat Islam, mengucapkan syahadat dan melakukan rukun Islam yang lainnya
akan tetapi hati mereka menyimpan kedengkian dan permusuhan terhadap
ajaran Islam.
Macam-macam penghambaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa penghambaan ada tiga macam:
- Penghambaan umum.
- Penghambaan khusus.
- Penghambaan sangat khusus.
Sedangkan penghambaan khusus ialah penghambaan berupa ketaatan secara umum. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan hamba-hamba Ar Rahman adalah orang-orang yang berjalan di atas muka bumi dengan rendah hati.” (QS. Al Furqan [25] : 63). Penghambaan ini meliputi semua orang yang beribadah kepada Allah dengan mengikuti syari’at-Nya.
Adapun penghambaan sangat khusus ialah penghambaan para Rasul ‘alaihimush shalatu was salam. Hal itu sebagaimana yang Allah firmankan tentang Nuh ‘alaihissalam (yang artinya), “Sesungguhnya dia adalah seorang hamba yang pandai bersyukur.” (QS. Al Israa’ [17]: 3). Allah juga berfirman tentang Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya), “Dan apabila kalian merasa ragu terhadap wahyu yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad)…” (QS. Al Baqarah [2] : 23). Begitu pula pujian Allah kepada para Rasul yang lain di dalam ayat-ayat yang lain. penghambaan jenis kedua dan ketiga ini bisa juga disebut ‘ubudiyah syar’iyah (Al-Qaul Al-Mufid I/16, Syarh Tsalatsatul Ushul, hal. 38-39).
Di antara ketiga macam penghambaan ini, maka yang terpuji hanyalah yang kedua dan ketiga. Karena pada penghambaan yang pertama manusia tidak melakukannya dengan sebab perbuatannya. Walaupun peristiwa-peristiwa yang ada di dunia ini (nikmat, musibah, dsb) yang menimpanya bisa juga menyebabkan pujian dari Allah kepadanya. Misalnya saja ketika seseorang memperoleh kelapangan maka dia pun bersyukur. Atau apabila dia tertimpa musibah maka dia bersabar. Adapun penghambaan yang kedua dan ketiga jelas terpuji karena ia terjadi berdasarkan hasil pilihan hamba dan perbuatannya, bukan karena suatu sebab yang berada di luar kekuasaannya semacam datangnya musibah dan lain sebagainya (Syarh Tsalatsatil Ushul, hal. 38-39).
***
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi (abumushlih.com)
Artikel www.muslim.or.id
0 comments:
Post a Comment
Komentar anda akan dihapus jika :
1. SPAM atau meninggalkan komentar mengandung unsur SARA
2. Berkata kasar atau kata-kata negatif lainnya
3. Meninggalkan komentar dengan link hidup
4. Komentar tidak berhubungan dengan tema
5. Jika anda ingin berlangganan "komentar" dari artikel ini, pilih link "Subscribe by email" pada bagian bawah form komentar