12:31 AM
Unknown
Qushay bin Kilab
Qushay bin Kilab (lahir 400–480) atau Qushai bin Kilab dan juga dikenal dengan nama Fahr bin Kilab adalah leluhur dari suku Quraish, salah satu keturunannya kemudian menjadi Nabi terbesar dari Islam, yaitu Muhammad.
Leluhur
Leluhur dari Qushay ke atas adalah Kilab, Ka'ab, Lu'ai, Ghalib, Fihr, Malik, Nazar, Kinanah, Khuzamah, Mudrikah, Ilyas, Mazar, Nazar, Ma'ad bin Adnan. Menurut beberapa riwayat Adnan adalah anak dari Nabi Ismail dimana ia merupakan anak pertama dari Nabi Ibrahim.Selain itu beberapa sejarawan menyatakan bahwa, nama asli dari Qushay adalah Fahr, anak dari Malik, Madar, Kananah, Khuzaimah, Mudrikah, Ilyas, Mazar, Nazar, Ma`ad, Adnan, Ismail, Ibrahim, Sam, Nuh.
Keluarga
Ayah Qushay yang bernama Kilab menikah dengan Fatimah, mereka memiliki dua orang putra yaitu Qushay sendiri dan Zuhrah bin Kilab. Ayah Qushay meninggal pada saat Qushay masih kecil, kemudian Ibu Qushay menikah dengan Rabi'ah dan ikut ke Suriah. Karena timbul perselisihan antara Qushay dengan suku Rabi'ah, maka Qushay kembali ke Mekkah.Di Mekkah, Qushay menikahi anak perempuan dari Hulayl, pemimpin dari Bani Khuza'ah. Hulayl mengganggap Qushay seperti anaknya sendiri—sesuatu hal yang tidak lazim pada bangsa Arab masa itu. Setelah Hulayl meninggal, ditetapkan bahwa Qushay menggantikan mertuanya menjadi pimpinan Mekkah dan penjaga Ka'bah.
Sejak itu Qushay membawa anggota Quraish yang merupakan keluarga terdekatnya untuk tinggal di Mekkah, dekat dengan Ka'bah. Diantaranya adalah Zuhrah, saudaranya; Taym, pamannya; Makhzum, anak pamannya yang lain. Mereka ini dan keturunannya kemudian dikenal sebagai kaum Quraish Lembah, sementara sanak Qushay yang tinggal lebih jauh dari Mekkah dikenal sebagai Quraish Pinggiran. Qushay memerintah mereka bagaikan raja dengan kekuasaan yang tidak tertandingi. Mereka membayarnya setiap tahun dengan domba, sehingga dia dapat menyediakan makanan untuk jamaah haji yang tak mampu. Dan kemudian ia memerintahkan kepada penduduk yang tadinya hanya menggunakan tenda, untuk membuat rumah secara permanen setelah membangun sebuah pusat pertemuan umum di dekat Ka'bah yang bernama Dar an-Nadwah atau Rumah Majelis.
Keturunan
Qushay memiliki 4 orang putera, yang lain menyebut ia memiliki 2 orang putera. Anak yang tertua adalah 'Abd al-Dâr yang kemudian menurunkan Bani 'Abd al-Dâr. Anaknya yang lain adalah 'Abd al-Manâf yang menurunkan Bani 'Abd al-Manâf. Satu lagi puteranya yang diketahui adalah 'Abd al-'Uzza yang menurunkan Bani Asad.Penerus Kepemimpinan
Qushay memilih putera pertamanya, 'Abd al-Dâr sebagai penerus kepemimpinan atas Mekkah dan penjaga Ka'bah, meskipun ia agak kurang cakap dibanding 'Abd al-Manâf. Pesan Qushay menjelang meninggalnya adalah:- "Anakku, aku akan menetapkan siapa yang bakal menjadi pemimpin yang harus ditaati oleh semua orang. Tidak ada yang dapat masuk Ka'bah kecuali engkau yang membukakannya. Selain tanganmu, tak ada yang boleh menandai peperangan bagi kaum Quraish. Tak ada yang boleh meminum air di Mekkah dalam perjalanan hajinya kecuali engkau yang memberinya. Tak ada yang boleh makan kecuali engkau yang memberinya. Tak ada yang boleh mengubah segala urusan Quraish kecuali di dalam rumahmu."
Pada generasi selanjutnya terjadi perebutan atas jabatan dan kedudukan ini, yang mengakibatkan dipisahkannya jabatan tersebut menjadi:
- Pemelihara Ka'bah dan pemegang kuncinya,
- Penyedia air bagi jama'ah di musim haji,
- Penyedia makanan bagi jama'ah haji,
- Ketua penduduk Mekkah, pemegang panji dan komando tentara.
Abdulmanaf bin Qushay
'Abdulmanâf bin Qushay (Bahasa Arab: عبد اﻠمناف بن قصي) atau Abdulmanaf adalah pendiri dari Bani Abdulmanaf. Ayahnya adalah Qushay. Nama aslinya adalah Mughirah bergelar Qamar al-Bathha (bulan Bathha). Menurut riwayat ia sangat saleh, suka mengajak orang kepada kebajikan, ramah dan memelihara hubungan yang sangat baik dengan kaum kerabatnya. Nama Abdul Manaf sendiri sebenarnya memiliki arti Abdi (hamba) dari Dewa Manaf.Walaupun sangat terhormat di masyarakat, dia tidak pernah menyaingi kakaknya—'Abduddâr—dalam urusan jabatan yang berhubungan dengan Ka'bah.
Dari silsilah di atas dapat diketahui bahwa 'Abdulmanâf memiliki 4 orang anak, yaitu:
- Hâsyim — yang menurunkan Bani Hâsyim,
- 'Abdusysyams — yang menurunkan Bani Abduasysyams,
- Muththalib — yang menurunkan Bani Muththalib,
- Naufal — yang menurunkan Bani Naufal.
Salah satu poin khusus tentang keturunan 'Abd al-Manâf, yang terpantul dalam pekikan perang dan kesusastraan Arab, ialah bahwa mereka mati di tempat-tempat yang berlainan: Hâsyim di Gaza, Palestina; 'Abdusysyams di Mekkah; Muththalib di Yaman; dan Naufal di Iraq.
Anak Kembar
Hâsyim dan 'Abdusysyams merupakan saudara kembar. Diriwayatkan oleh para sejarawan bahwa pada saat kelahiran Hâsyim dan 'Abdusysyams, satu jari Hâsyim tertusuk ke dahi 'Abdusysyams. Darah mengalir deras ketika mereka dipisahkan, dan orang-orang menganggap kejadian ini sebagai pertanda buruk.Hal ini dapat dilihat dari kenyataan sejarah, dimana Bani Hâsyim, yang menurunkan Ali dan Bani 'Abdusysyams yang menurunkan Bani Umayyah, melalui Muawiyah dimana kemudian terjadi Pertempuran Shiffin. Syahidnya Husain di Karbala atas perintah Yazid yang merupakan keturunan dari Bani Umayyah. Selain itu perang yang terus menerus antara Bani Abbasiyah—keturunan Bani Hâsyim— dan Bani Umayyah.
Perebutan Kepemimpinan
'Abdulmanâf mematuhi keinginan ayahnya —Qushay— untuk memilih kakaknya —'Abduddâr— sebagai pemimpin kota Mekkah dan penjaga Ka'bah. Tetapi, pada generasi berikutnya, separo kaum Quraisy berdiri di belakang putra 'Abdulmanâf, Hâsyim, lelaki yang paling terkemuka saat itu, dan menuntut agar pemerintahan dialihkan dari Bani 'Abduddâr ke Bani 'Abdulmanâf. Mereka yang mendukung Hâsyim dan saudara-saudaranya itu adalah dari Bani Zuhrah, Bani Taim dan seluruh keturunan anak Qushay selain dari anak pertama. Bani Makhzum dan sepupu yang lebih jauh menerima pemerintahan Bani 'Abduddâr.Akhirnya kekuasaan tersebut dibagi dengan Bani 'Abdulmanâf yang dipimpin Hâsyim, dimana keturunan 'Abduddâr yaitu Bani 'Abduddâr berhak memegang kunci Ka'bah dan hak-hak mereka yang lain, dan tempat tinggal mereka harus diteruskan fungsinya sebagai Darunnadwah atau Rumah Majelis. Sedangkan Bani 'Abdulmanâf berhak menetapkan pajak serta menyediakan makanan dan minuman bagi para jamaah haji.
Abduddar bin Qushay
'Abd al-Dâr bin Qushay atau 'Abd ad-Dar bin Qushay adalah anak tertua dari Qushay, yang ditunjuk oleh Qushay sendiri untuk menjadi pemimpin kota Mekkah dan penjaga Ka'bah sepeninggalnya. Ia menurunkan Bani 'Abd al-Dâr.
Penunjukkan oleh Qushay
Qushay memilih putera pertamanya, 'Abd al-Dâr sebagai penerus kepemimpinan atas Mekkah dan penjaga Ka'bah, meskipun ia agak kurang cakap dibanding saudaranya, 'Abd al-Manâf. Pesan Qushay menjelang meninggalnya adalah:- "Anakku, aku akan menetapkan siapa yang bakal menjadi pemimpin yang harus ditaati oleh semua orang. Tidak ada yang dapat masuk Ka'bah kecuali engkau yang membukakannya. Selain tanganmu, tak ada yang boleh menandai peperangan bagi kaum Quraish. Tak ada yang boleh meminum air di Mekkah dalam perjalanan hajinya kecuali engkau yang memberinya. Tak ada yang boleh makan kecuali engkau yang memberinya. Tak ada yang boleh mengubah segala urusan Quraish kecuali di dalam rumahmu."
Hasyim bin 'Abd al-Manaf
Hâsyim bin 'Abd al-Manâf (Bahasa Arab: هاشم بن عبد مناف) (meninggal 497) adalah pendiri dari Bani Hasyim, dan buyut dari Nabi Muhammad dan Ali bin Abu Thalib. Nama sesungguhnya adalah Amar dan bergelar Ala. Ia merupakan saudara kembar dari 'Abd asy-Syams.[1]Saudara Kembar
Hâsyim dan 'Abd asy-Syams merupakan saudara kembar. Diriwayatkan oleh para sejarawan bahwa pada saat kelahiran Hâsyim dan 'Abd asy-Syams, sebuah jari Hâsyim tertusuk ke dahi 'Abd asy-Syams. Darah mengalir deras ketika mereka dipisahkan, dan orang-orang menganggap kejadian ini sebagai pertanda buruk.[1]Hal ini dapat dilihat dari kenyataan sejarah, dimana Bani Hâsyim, yang menurunkan Ali dan Bani 'Abd asy-Syams yang menurunkan Bani Umayyah, melalui Muawiyah dimana kemudian terjadi Pertempuran Shiffin. Syahidnya Husain di Karbala atas perintah Yazid yang merupakan keturunan dari Bani Umayyah. Selain itu perang yang terus menerus antara Bani Abbasiyah—keturunan Bani Hâsyim— dan Bani Umayyah.
Perebutan Kepemimpinan Mekkah
Setelah meninggalnya generasi pertama dari anak Qushay yaitu 'Abd al-Manâf dan 'Abd al-Dâr, terjadi perebutan kepemimpinan dimana separo kaum Quraisy berdiri di belakang putra 'Abd al-Manâf, Hâsyim, lelaki yang paling terkemuka saat itu, dan menuntut agar pemerintahan dialihkan dari Bani 'Abd al-Dâr ke Bani 'Abd al-Manâf. Mereka yang mendukung Hâsyim dan saudara-saudaranya itu adalah dari Bani Zuhrah, Bani Taim dan seluruh keturunan anak Qushay selain dari anak pertama. Bani Makhzum dan sepupu yang lebih jauh menerima pemerintahan Bani 'Abd al-Dâr.[3]Terjadi peristiwa di Mekkah, dimana kaum wanita dari Bani 'Abd al-Manâf membawa secawan minyak wangi wangi dan meletakkannya di sebelah Ka'bah. Hâsyim dan saudara-saudaranya serta seluruh pengikutnya mencelupkan tangan mereka ke dalam cawan dan mengangkat sumpah bersama untuk tidak saling mengganggu satu sama lain, kemudian menggosokkan tangannya yang harum di atas batu Ka'bah sebagai tanda tercapainya kesepakatan. Kelompok ini dikenal dengan sebagai kelompok Harum (al-Muththayyibun). Para pengikut dari Bani 'Abd al-Dâr juga mengangkat sumpah membentuk suatu kelompok yang dikenal dengan Kelompok Sekutu (al-Ahlaf).[3]
Hampir terjadi peperangan di antara dua kelompok tersebut yang akibatnya dapat memusnahkan Quraisy, kalau tidak cepat dilakukan perdamaian, selain itu untuk menegakkan peraturan pelarangan perang di wilayah Ka'bah dan kawasan Mekkah. Akhirnya disepakati bahwa Bani 'Abd al-Dâr berhak memegang kunci Ka'bah, panji dan pimpinan rapat serta tempat tinggal mereka harus diteruskan fungsinya sebagai Dar an-Nadwah atau Rumah Majelis. Sedangkan Bani 'Abd al-Manâf berhak menetapkan pajak serta menyediakan makanan dan minuman bagi para jamaah haji. [3] [4]
Kepemimpinan Hâsyim
Selama musim Haji
Sebagai contoh dari kepemimpinan Hâsyim, bilamana tiba bulan Djulhijjah, ia datang ke Ka'bah, bersandar di dindingnya dan mengucapkan kata-kata sebagai berikut:- "Wahai kaum Quraisy, kamu adalah yang paling bijaksana dan paling mulia di kalangan orang Arab. Ras kamu adalah yang terbaik di antara semua ras. Allah Yang Mahakuasa memberikan kepadamu tempat di sisi rumah-Nya sendiri dan telah menganugerahkan kepada kamu kelebihan dalam hal ini di atas seluruh keturunan Ismail."
- "Wahai kaumku, berhati-hatilah! Para pengunjung Rumah Allah datang kepada kamu bulan ini dengan kenikmatan luar biasa. Mereka adalah para tamu Allah, dan kewajiban kamu adalah menerima mereka. Ada banyak orang fakir miskin di antara mereka, yang datang dari tempat-tempat jauh. Saya bersumpah demi Tuhan Rumah ini, apabila saya cukup kaya untuk menjamu semua tamu Allah maka saya tidak akan mendesak kamu untuk memberikan bantuan. Namun, sekarang saya menafkahkan semua yang dapat saya nafkahkan, dan apa yang telah saya peroleh dengan jalan halal."
- "Saya bersumpah kepada kamu demi kehormatan Rumah ini bahwa kamu tidak boleh menafkahkan, untuk tujuan ini, apa yang telah kamu serobot, atau memberikan atau menafkahkan apa pun secara munafik atau karena terpaksa. Apabila seseorang tak ingin membantu, ia bebas untuk tidak menafkahkan apapun."[1]
Perjanjian dengan pihak asing
Hâsyim membangun dua rute perjalanan kafilah besar dari Mekkah; pada musim dingin, kafilah berangkat ke Yaman dan pada saat musim panas kafilah ke barat laut Arab, dan di antara dua musim itu ke Palestina dan Syria, dimana Syria dan Palestina masa itu merupakan bagian dari kekuasaan Byzantium (masih di bawah Romawi).[3]Hâsyim mengadakan pula perjanjian dengan penguasa Bani Ghassan di Syria, setelah itu diadakan pula perjanjian oleh saudaranya 'Abd asy-Syams dengan raja Ethiopia, berturut-turut kemudian Muththalib dengan Yaman dan Naufal dengan raja Iran (Sasaniyyah). Menurut perjanjian-perjanjian tersebut barang-barang dapat diperdagangkan secara bebas dengan berbagai negara. Hal ini menyelesaikan banyak kesulitan dan memunculkan banyak usaha dagang di Mekkah, yang terus berlangsung hingga datangnya Islam.[1]
Kecemburuan Umayyah terhadap Hâsyim
Umayyah, putra dari 'Abd asy-Syams, merasa cemburu atas kebesaran dan martabat pamannya, Hâsyim. Ia berusaha menarik simpati rakyat kepada dirinya dengan memberikan banyak hadiah, namun meskipun begitu ia tidak dapat mendongkel Hâsyim dari kedudukannya. Sebaliknya usahanya untuk memfitnah dan mencemari pamannya tersebut menambah kehormatan Hâsyim di hati penduduk.[1]Akhirnya ia mendesak pamannya agar mereka mendatangi salah seorang ahli nujum di tanah Arab, dan hanya orang yang dikukuhkan oleh ahli nujum itulah yang berhak memegang kendali pemerintahan. Hâsyim menyetujui hal tersebut dengan dua syarat. Pertama, pihak yang kalah harus mengurbankan seratus ekor unta bermata hitam dalam musim haji. Kedua, ia juga harus meninggalkan Mekkah selama sepuluh tahun. Ternyata ahli nujum, Asfan melihat Hâsyim. Ia pun memujinya dan memberikan keputusan yang menguntungkannya. Karena itu Umayyah terpaksa meninggalkan Mekkah dan tinggal selama sepuluh tahun di Syria.[1]
Efek dari permusuhan ini berlangsung turun menurun hingga 130 tahun setelah kedatangan Islam. Riwayat di atas, di samping menyoroti asal-usul permusuhan antara kedua keluarga, juga menjelaskan penyebab pengaruh Bani Umayyah di Syria. Hubungan yang terjalin lama dengan Syria menyiapkan tempat bagi pemerintahan mereka di sana, khususnya Damaskus sebagai pusat pemerintahan Bani Umayyah.[1]
Pernikahan
Kedua rute perjalanan kafilah yang dibangun Hâsyim mengikuti rute minyak wangi kuno; dimana salah satu pemberhentian utama dari kafilah musim panas adalah oasis di Yatsrib, sebelas hari perjalanan unta ke utara Mekkah. Dulu oasis ini dikuasai oleh kaum Yahudi, tetapi sekarang dikuasai oleh suku bangsa Arab dari Arabia Selatan. Dalam masyarakat Arab Yatsrib dikenal tradisi matriakal-dimana pihak perempuan sebagai pewaris utama-, secara kolektif mereka dikenal sebagai Bani Qaylah, merujuk nama leluhur mereka, kemudian mereka terbagi dalam dua suku yang disebut Bani 'Aus dan Bani Khazraj, merujuk kedua putra Qaylah.[3]Salah seorang wanita Bani Khazraj yang sangat berpengaruh adalah Salmâ binti 'Amr, dari suku Najjâr. Hâsyim melamar untuk menikahinya. Salmâ mau asal ia tetap diperbolehkan memimpin masyarakatnya. Ketika melahirkan seorang putra, ia mengasuhnya di Yatsrib hingga berumur kira-kira empat belas tahun. Hâsyim tidak melarangnya agar si anak tahan terhadap berbagai penyakit padang pasir yang lebih berbahaya bagi pendatang baru ketimbang bagi penduduk asli. Sebab penduduk daerah tropis lebih kuat dibandingkan penduduk Mekkah. Selain itu, ia sering bolak-balik ke Syria sehingga dapat bertemu dan tinggal bersama Salmâ dan putranya yang diberi nama Syaibah yang kemudian dikenal dengan nama 'Abd al-Muththalib.[3]
Pergantian Kepemimpinan
Pada suatu perjalanan kafilah ke Palestina, Hâsyim meninggal di Gaza, diperkirakan terjadi pada tahun 497 Masehi. Kedudukannya digantikan oleh adiknya, Muththalib. Sebenarnya Muththalib masih adik dari 'Abd asy-Syams, tetapi ia sangat dihormati oleh masyarakat, karena sifatnya yang suka menenggang dan murah hati. Oleh Quraisy ia dijuluki al-Fayd (yang melimpah, yang banyak jasanya).[4]Selain alasan tersebut juga dikarenakan kesibukan dari 'Abd asy-Syams sendiri dengan kegiatan perdagangan di Yaman dan belakangan juga di Syria, sementara Naufal sibuk dengan perdagangannya di Irak, sehingga keduanya jarang berada di Mekkah untuk waktu yang lama.
Keturunan
Menurut Ibnu Hisham, putra-putranya adalah:- Asad bin Hâsyim (Kakek Ali dari pihak ibu)
- Abu Saifi bin Hâsyim
- Nadla bin Hâsyim
- Syaibah bin Hâsyim yang dikenal dengan 'Abd al-Muththalib (Kakek Muhammad dan Ali dari pihak ayah)
- Ash-Shifa binti Hâsyim
- Khalida binti Hâsyim
- Da'ifa binti Hâsyim
- Ruqayyah binti Hâsyim
- Jannah binti Hâsyim